Seharian sudah aku, atau lebih tepatnya hatiku, mencoba menjelaskan pada otak yang keras kepala tentang apa yang sebenarnya sedang menggundah gulanakan jiwa. Sejenak, tak bisa ku bedakan antara sedih dan senang. Seperti mati rasa saja. Mungkin nalar manusiaku lupa bagaimana menterjemahkan not not balok, nada-nada dari drama musikal hidupku. Otakku rasanya seperti ompong, tidak bisa mengunyah aneka ragam makanan yang diberikan oleh hati kecilku ini. Baru kusadari yang kurasa ini ternyata nyata!
Diluar, bunga-bunga salju sedang bermain dengan angin musim semi. Angin yang terlalu dingin untuk bertiup di akhir bulan Maret. "Mungkin cuaca yang jelek ini juga penyebabnya?", kucoba mecari kambing hitam untuk ketidakstabilan emosiku. Tidak ada air mata. Atau mungkin air mata itu ada. Hanya saja dia tidak jatuh di pipi tapi jatuh di dalam dada, dan meresap ke dalam hati. Ah, encok mungkin yah saraf-sarafku ini sampai tak mampu menjalankan tugasnya!
Waktu sepertinya membuat lukisan kegembiaraanku memudar. Kira-kira seperti cita-cita yang dikhianati rasa ketidakpedulian; orang bule bilang, "whatever!". Aku sadar, terlalu muda bagku untuk merasa capek dengan hidup. Terlebih lagi, terlalu diberkati aku untuk menyanyikan melodi sendu. Keterlaluan!
Mungkinkah ini suatu ujian? Ujian untuk naik dari kelas "berterima kasih untuk segala berkat" ke kelas "mengucap syukur untuk semua suka dan duka".
Hanya satu yang aku mengerti saat ini. Aku kangen rumah, pengen pulang. Rindu makanan yang rasanya mengelitik lidah, semerawut kota dengan bisingnya lagu dari angkot, panasnya terik sang mentari yang seolah-olah membenci bumi, khasnya bau tanah yang tercium sehabis hujan deras... rindu semua!
Aku kangen rumah.. aku kangen mereka.. aku kangen dia
2 comments:
Kata orang, hidup itu seperti suatu lukisan. Mungkin ada benarnya, sedikit. Lebih tepat menurut gua menjalani hidup seperti orang sedang melukis. Lukisan yang bagus ala Rembrandt (maap, abis banyak dicekokin Rembrandt di Amsterdam), butuh kontras antara terang dan gelap. Dalam hidup, antara suka dan duka. Kekontrasan yang penuh itu yang membuat lukisan Rembrandt menarik. Warna gelap butuh untuk membuat terang, terang. Duka dan sepi membuat hidup penuh suka, penuh cinta. Mereka juga membuat kita hidup mencintai teman dan keluarga. Duka dan sepi membuat hidup cinta nyata. - Salam dari Lyon, Bud.
yeap.. I do agree. Kalo ngga ada duka, rasanya suka ngga bakal really mean suka deh yah. Duka dan sepi ada untuk membantu mata hati kita melihat indahnya cinta dan berharganya hidup :)
Post a Comment